Orang yang pasti tidak nyaman dalam keluarga, orang yang
pasti tidak tentram dalam bertetangga, orang yang pasti tidak nikmat dalam
bekerja adalah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin
hati penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria, penuh kedengkian,
kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni
kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yang berhati
bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang suasana hidup tergantung
suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati lapang tidak jadi
masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau hatinya terpenjara,
tetap akan jadi masalah.
Salah satu yang harus dilakukan agar seseorang terampil menjernihkan hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab,
seorang istri (kata orang2 yang sudah beristri) akan berbuat salah kepada suami, anak akan berbuat salah, tetangga kita akan
berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah, atasan di kantor kita akan
berbuat salah karena memang mereka bukan malaikat. Namun sebenarnya yang jadi
masalah bukan hanya kesalahannya, yang jadi masalah adalah bagaimana kita
menyikapi kesalahan orang lain.
Sebetulnya sederhana sekali tekniknya yaitu
tanyakan pada diri sendiri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri
kita ketika kita berbuat salah...? Kita sangat berharap agar orang lain tidak
murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu kesalahan kita
dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dalam
menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah besar atau
bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin
agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberi
kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa
berubah. Jika keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika
orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi,
bahkan tidak jarang kita mendzolimi...?
Saudaraku, seharusnya ketika ada orang lain berbuat
salah, apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita
lakukan adalah dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar.
Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk
dikecewakan. Mengapa...? Karena yang dipimpin kualitas pribadinya belum
tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin yang tidak siap
dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.
Oleh karena itu, jika ada orang melakukan kesalahan,
maka sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang yang berbuat salah ini
tahu atau tidak bahwa dirinya salah...? Kenapa ada orang yang berbuat salah dan
dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana,
ada seorang wanita dari desa yang dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja, dia sama sekali tidak merasa
bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi, toilet, wastafel, tidak dimatikan
sehingga meluber terbuang percuma, mengapa...? Karena di desanya pancuran air
untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di desanya tidak ada aturan penghematan
air, di desanya juga tidak ada kewajiban membayar biaya pemakaian air ke PDAM,
sebab di desanya air masih begitu melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat
pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat
salah, tanya dululah, dia tahu tidak bahwa ini sebuah kesalahan.
Lalu, kalau dia belum tahu kesalahannya, maka kita harus
memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki, dan bahkan mendzolimi. Bagaimana
mungkin kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, seperti halnya,
bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai perilaku
orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah ada pembantu yang umurnya baru 24
tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya. Bagaimana mungkin
kita menginginkan orang lain sekualitas kita, sama kemampuannya dengan kita,
sedangkan kita berbuat begini saja sudah rentang ilmu begitu panjang yang kita
pelajari, sudah rentang pengalaman begitu panjang pula yang kita lalui.
Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat
salah dari tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya.
Selalu kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.
Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan
keluarnya, karena ada orang yang mengetahui bahwa itu suatu masalah, tapi dia tidak tahu
harus bagaimana menyelesaikannya...? Maka, posisi kita adalah membantu orang yang
berbuat salah mengetahui jalan keluarnya.
Dan tahap yang ketiga adalah membantu orang yang berbuat
salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih
menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan. Karena anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian
dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan
kita, kenapa kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan,
ngomongin kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya,
bagaimana ini...? Lalu, apa yang berharga pada diri kita...? Padahal, justru kalau
kita melihat orang lain salah, maka posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki
kesalahannya.
Saudaraku, semestinya yang kita lakukan adalah berusaha
membantu agar orang yang berbuat salah mampu menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang
dilakukannya adalah suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah agar ia
tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat
salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya.
Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu
dengan mengingatkan dia tentang pentingnya shalat, membantu mengajarinya tata
cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya dia tetap bersemangat
untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat pemabuk, justru harus kita
bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana
cara menghentikan aktivitas mabuk. Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam
posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu
untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci
kepada siapapun. Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa
meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat
kesalahan, dan kita pun sebenarnya gudang kesalahan.
Wallohu'alam...
>>Semoga Bermanfaat<<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar