Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari
dalam Shahihnya dari Sahl bin Saad, ia berkata,
Ada
seorang laki-laki melewati Rasulullah
ﷺ, lalu beliau berkata kepada
orang yang duduk di dekat beliau, “Apa pendapat kalian dengan laki-laki ini”?
Ia menjawab, “Ia seorang yang terpandang di kalangan manusia. Ini, demi Allah,
sudah pantas bila melamar, pasti akan diterima, dan bila dimintai bantuan pasti
akan dibantu.” Nabi ﷺ diam. Beberapa saat kemudian, lewatlah
seorang laki-laki lain, lalu Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu dengan
orang ini”? Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, menurutku, orang ini adalah orang
termiskin dari kalangan kaum muslimin. Apabila ia melamar sudah pantas
lamarannya untuk ditolak. Jika dimintai pertolongan dia tidak akan ditolong.
Dan apabila berkata, perkataannya tidak akan didengar.” Rasulullah ﷺ
bersabda, “Sungguh orang ini (orang yang terlihat miskin) lebih baik dari dunia
dan seisinya daripada orang yang ini (orang yang pertama).”
Sesungguhnya bentuk tertipu
terhadap dunia adalah berusaha mencari ketenaran. Banyak orang berusaha
bagaimana kiranya agar tersebar berita tentang dirinya. Berusah menjadi
pembicara dalam suatu forum. Atau menjadi seseorang yang didengar ucapannya.
Atau dicatat. Karena keinginan ini, sebagian orang berusaha menempuh segala
cara agar hal ini dapat terwujud. Ia cinta popularitas dan dikenal. Ini adalah
seruan jiwa yang sakit. Mulai muncul perasaan meremehkan orang lain. Memandang
remeh jiwa yang merasa berkecukupan. Hilanglah dari pikirannya sabda Nabi ﷺ,
“Kaya
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah
hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam pembahasan tauhid, mencari
ketenaran adalah sesuatu yang dicela. Rasulullah ﷺ
bersabda,
“Sesungguhnya
manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di
jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan
(yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya,
‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku
berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman,
‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani.
Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian
diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup),
lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah
seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Alquran. Ia
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun
mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau
lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan
mengajarkannya, serta aku membaca Alquran hanyalah karena engkau.’ Allah
berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang
berilmu) dan engkau membaca Alquran supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’
(pembaca Alquran yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’
Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya
ke dalam neraka. Berikutnya adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan
berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya
kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah
bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia
menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang
Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’
Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya
dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan
(tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya
dan melemparkannya ke dalam neraka’.” (HR. Muslim dan selainnya).
Ketiga orang ini menampakkan amalan
ketaatan mereka. Mati syahid. Mengajar dan mempelajari Alquran. Menginfakkan
harta. Tapi pahala mereka musnah karena mereka mencari popularitas dengan
amalan tersebut. Mereka cinta menjadi terkenal dan terpandang. Merekala orang
pertama ang menyalakan api Jahannam.
Mereka mereka menjadi orang pertama
yang masuk neraka? Karena sewaktu mereka di dunia mereka ingin menjadi orang
pertama, yang paling unggul, paling dihormati, paling dikenal, dan paling
diakui. Sehingga Allah hukum mereka dengan tujuan mereka tersebut. Dan balasan
itu tergantung amal perbuatannya.
“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya
hamba-hamba-Nya.” (QS:Fushshilat | Ayat: 46).
Mencari ketenaran itu tercela
sepenuhnya, walaupun mencari tenar dalam urusan dunia. Maksudnya selain
ketaatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
Tidak
ada sesuatu yang mencampuri jiwa yang lebih merusak daripada asy-syahwah
al-khafiyyah. Ia merusak perwujudan ibadah kepada Allah. Merusak meingkhlaskan
agama hanya kepada-Nya. Syaddad bin Aus mengatakan, ‘Wahai orang-orang Arab,
sesungguhnya yang paling kutakutkan ataus kalian adalah riya’ dan asy-syahwah
al-khafiyyah’. Abu Dawud ditanya, ‘Apa yang dimaksud dengan asy-syahwah
al-khafiyyah’? Ia menjawab, ‘Suka menonjolkan diri’.”
Sampai-sampai Nabi ﷺ melarang pakaian yang bisa membuat
pemakainya terkenal gara-gara pakaian tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Abu Dawud, Nabi ﷺ
bersabda,
“Barangsiapa
mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah
mengenakan pakaian kehinaan kepadanya di hari kiamat lalu membakarnya dengan
api neraka.”
Popularitas itu ibarat rasa lapar
yang tidak pernah mengalami kenyang. Apabila seseorang telah tergoda dengan
yang demikian, maka sulit baginya untuk lepas. Dan dapat membinasakan agama
seseorang. Dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Dua
ekor srigala yang lapar, dilepas di suatu peternakan domba, hal ini tidak lebih
berbahaya disbanding seseorang yang bernafsu mengejar harta dan kehormatan.”
Di mata Allah, tidak setiap
popularitas dan tenar itu adalah pencapaian. Dan tidak dikenal itu bukan
berarti kegagalan atau ketertinggalan. Orang-orang yang cinta popularitas hanya
menjadikan pandangan manusia sebagai parameternya. Apa yang tidak menarik
perhatian orang banyak, maka ia pun tidak membutuhkannya.
Bandingkanlah keadaan ini dengan
keadaan para sahabat Rasulullah ﷺ.
Nabi ﷺ mengajari para sahabatnya
dengan sabda beliau, “Sesungguhnya Allah
mencintai seorang hamba yang merasa cukup dan menyepi (tidak suka populer).”
Para sahabat Nabi ﷺ dulu sangat takut akan popularitas.
Mereka khawatir kalau perbuatan kebajikan mereka diketahui seseorang,
jangan-jangan hal itu akan membuatnya merasa bangga diri. Buraidah bin
al-Hashib radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku
turut serta dalam Perang Khaibar. Aku naik ke suatu tempat. Lalu aku berperang
hingga aku dilihat orang. Saat itu aku memakai pakaian berwarna merah. Aku
tidak mengetahui dosa yang lebih besar yang kulakukan dalam Islam lebih dari
ini.”
Ketika Muawiyah radhiallahu ‘anhu
mendengar hadits tentang tiga golongan yang pertama kali masuk neraka. Ia
berkata, “Orang-orang itu telah melakukan
amalan yang hebat, lalu bagaimana dengan manusia yang lain?” Kemudian ia
menangis sejadi-jadinya, sampai orang-orang di sekitarnya mengira ia dalam
keadaan bahaya. Mereka berkata, “Orang ini datang kepada kita dengan
keburukan.” Lalu Muawiyah menyeka air matanya dan berkata, “Benarlah Allah dan
Rasul-Nya.
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS:Huud | Ayat: 15-16).
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu
‘anhu keluar dari rumahnya. Lalu orang-orang mengikutinya. Lalu beliau bertanya,
“Apakah kalian ada keperluan?” Mereka
menjawab, “Tidak ada. Kami hanya ingin berjalan bersamamu”. Ibnu Mas’ud menegur
mereka, “Pulanglah (jangan ikuti aku). Yang demikian itu kehinaan bagi yang
mengikuti dan fitnah (ujian ketenaran) bagi yang diikuti”.
Orang yang diikuti akan terfitnah
agamanya. Sedangkan yang mengikuti merendahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya
suka tenar dan popular adalah bentuk keterpedayaan dan takjub dengan diri
sendiri. Ia cenderung kepada hal-hal yang berbeda, sulit menerima nasihat, dan
berhadapan dengan fitnah.
Imam ad-Darimi rahimahullah
mengumpulkan riwayat-riwayat khusus tentang tercelanya mencari popularitas dan
para salaf sangat menghindari popularitas. Beliau memuat riwayat-riwayat
tersebut dalam Bab Man Karaha asy-Syuhrah wa al-Ma’rifah (Bab mereka yang
membenci tenar dan dikenal). Dalam bab tersebut diriwayatkan ucapan seorang
tabi’in, al-Harits bin Qays al-Ju’fi, murid dari Abdullah bin Mas’ud. Ia sangat
takjub dengan Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata, “Dia (Abdullah bin Mas’ud),
apabila ada satu orang atau dua orang yang berbicara dengannya, ia layani. Apabila
telah banyak, ia pun meninggalkan mereka.”
Ketika Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhu wafat, ada seseorang berkata kepada al-Qamah rahimahullah, “Seandainya aku memiliki kedudukan (ilmu)
seperti dia, aku akan mengajarkannya pada orang-orang.” Lalu al-Qamah yang
merupakan seorang ulama tabi’in mengatakan, “Maukah Anda menggantikan
posisiku.”
Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Suatu kerahusan bagi orang yang berilmu
untuk berbicara dengan niat yang ikhlas dan maksud yang baik. Apabila ia merasa
takjub dengan ucapannya, hendaknya dia diam. Apabila diamnya membuat dia
bangga, maka berbicaralah. Janganlah malas untuk senantiasa mengoreksi diri.
Ketika kita malas, sungguh ia akan berganti menjadi cinta popularitas dan
pujian.”
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
mengatakan, “Aku ingin berada di tengah
masyarakat Mekah, sehingga aku tidak dikenal. Aku telah diberi ujian
popularitas. Sungguh aku berharap diwafatkan pada pagi atau sore ini.”
Imam Ahmad tinggal di Baghdad Irak.
Seandainya ia tinggal di Mekah, seseorang tidak ada yang mengenali wajahnya.
Karena zaman dulu hanya nama yang tersebar di penjuru negeri, sedangkan wajah
tidak. Karena tidak ada lukisan atau foto.
Demikianlah keadaan salaf
ash-shaleh dalam menghadapi popularitas. Dalam hal agama maupun dunia.
Ada sebagian da’i, kiyai, ustadz,
atau orang-orang shaleh, yang ditimpa musibah popularitas, walaupun mereka lari
dari popularitas itu. Mereka tidak pernah menjadikan popularitas seabgai tujuan
dari dakwah mereka. Bagi Anda yang mengalami demikian, maka lawanlah terus
dengan kadar kemampuan Anda.
>>Semoga Bermanfaat<<