My Favourite Music

Minggu, 03 Agustus 2014

Lupakan Jasa dan Kebaikan Diri

Semakin kita sering menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.

Saudaraku, semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Alloh SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa izin Alloh. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Alloh tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Alloh.

Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita yang berjasa, melainkan Alloh-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan terwujudnya suatu kebaikan yang sejatinya berasal dari Alloh. Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena seandainya Alloh menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain, maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.

So, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, sebetulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Alloh-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Alloh baginya. Namun, seandainya sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya (seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak beroleh pahala ganjaran.


Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.

Saudaraku, percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan seorang ibu/ bapak justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik, InsyaAlloh. Alloh-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.

Seorang guru juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya. Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.

Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.

Seandainya ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun tidak sama sekali. Seandainya kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Alloh karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.

Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini diizinkan Alloh bisa mendorong mobil. Silakan dibayangkan seandainya ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau diri ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan mendorong apa...?

Takdir mendorong mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan niscaya Alloh yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.

Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah melakukannya, cukuplah Alloh yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Alloh SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang yang ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya.

Selamat berbahagia bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan kebaikan dirinya, saya percaya bahwa orang yang gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan kebaikan dirinya akan jauh lebih nikmat, lebih ringan, dan lebih indah dalam menjalani kehidupan...

>> Semoga Bermanfaat <<